Kamis, 05 Februari 2009

PERBAIKAN DAYA SAING INDUSTRI PENGOLAHAN PERIKANAN MELALUI PEMANFAATAN LIMBAH NON EKONOMIS IKAN MENJADI GELATIN

Gelatin merupakan protein hasil hidrolisis kolagen tulang dan kulit yang banyak digunakan untuk berbagai keperluan industri, baik industri pangan maupun non-pangan karena memiliki sifat yang khas, yaitu dapat berubah secara reversibel dari bentuk sol ke gel, mengembang dalam air dingin, dapat membentuk film, mempengaruhi viskositas suatu bahan, dan dapat melindungi sistem koloid. Pada suhu 71°C gelatin mudah larut dalam air dan membentuk gel pada suhu 49°C. Gelatin memiliki sifat larut air sehingga dapat diaplikasikan untuk keperluan berbagai industri.

Industri yang paling banyak memanfaatkan gelatin adalah industri pangan. Dalam industri pangan, gelatin digunakan sebagai pembentuk busa (whipping agent), pengikat (binder agent), penstabil (stabilizer), pembentuk gel (gelling agent), perekat (adhesive), peningkat viskositas (viscosity agent), pengemulsi (emulsifier), finning agent, crystal modifier, thickener. Dalam bidang farmasi, gelatin dapat digunakan dalam bahan pembuat kapsul, pengikat tablet dan pastilles, gelatin dressing, gelatin sponge, surgical powder, suppositories, medical research, plasma expander, dan mikroenkapsulasi. Dalam industri fotografi, gelatin digunakan sebagai pengikat bahan peka cahaya. Dalam industri kertas, gelatin digunakan sebagai sizing paper. Dengan kegunaan tersebut penggunaan gelatin sangat meluas hingga untuk produk-produk keperluan sehari-hari.

Untuk kebutuhan dalam negeri, Indonesia mengimpor lebih dari 6 200 ton gelatin (tahun 2003) atau senilai US$ 6,962,237 dari berbagai negara (Perancis, Jepang, India, Brazil, Jerman, Cina, Argentina, dan Australia). Sampai saat ini bahan baku yang banyak digunakan untuk produksi industri gelatin konvensional adalah tulang dan kulit sapi dan babi. Penggunaan tulang dan kulit sapi akan menjadi masalah bagi para pemeluk agama Hindu. Bagi umat Islam dan Yahudi, bahan-bahan yang berasal dari babi adalah tidak boleh dikonsumsi. Bagi sebagian orang juga khawatir untuk mengkonsumsi limbah sapi karena adanya penyakit sapi gila (mad cow), penyakit mulut dan kuku (foot and mouth), dan Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) sehingga perlu dipikirkan sumber gelatin lainnya yang aman dan halal untuk alternatif produksi gelatin, mengingat kebutuhan gelatin yang semakin meningkat di Indonesia. Alternatifnya adalah menggunakan tulang dan kulit ikan sebagai sumber kolagen yang sebenarnya merupakan limbah industri pengolahan ikan.

Gelatin merupakan suatu turunan protein dari serat kolagen yang ada pada kulit, tulang, dan tulang rawan. Tulang dan kulit ikan keras (teleostei) merupakan limbah dari proses pengolahan hasil perikanan yang selama ini tidak dimanfaatkan dan akan menimbulkan kerugian terutama pencemaran lingkungan jika dalam jumlah besar. Penggunaan tulang ikan keras ini dapat dijadikan sebagai suatu alternatif non konvensional untuk mencari sumber gelatin selain dari kulit dan tulang sapi maupun babi. Tulang ikan mengandung kolagen. Apabila kolagen dididihkan di dalam air yang dikombinasikan dengan perlakuan asam atau basa, akan mengalami transformasi menjadi gelatin. Kandungan kolagen pada tulang ikan keras (teleostei) berkisar 15-17%, sedangkan pada tulang ikan rawan (elasmobranch) berkisar 22-24%.

Laju pertumbuhan ekspor perikanan Indonesia dalam kurun waktu 1998-2000 terjadi peningkatan. Pada tahun 1998 volume ekspor sebesar 650 291 ton dan meningkat menjadi 203 155 ton pada tahun 2000. Dengan jumlah ekspor tersebut jika diasumsikan adalah dalam bentuk fillet ikan bertulang keras (tuna, kakap merah, dsb), maka akan dihasilkan limbah tulang ikan sebanyak 87 472 ton. Hal ini berdasarkan perhitungan bahwa rendemen tulang ikan adalah 12%. Jika tulang ikan basah dijadikan dalam bentuk kering maka rendemennya adalah 12.25% sehingga diperoleh tulang ikan kering sebesar 10 715 ton; dan selanjutnya akan diperoleh gelatin sejumlah 1 648 ton (bila rendemen 15.38%). Jika harga 1 gram gelatin adalah US$ 1 (tahun 2003 di USA) maka akan dihasilkan devisa sebanyak US$ 1 648 juta. Nilai ini sangat menguntungkan karena tulang ikan yang selama ini merupakan limbah non ekonomis dapat dimanfaatkan dan bernilai tinggi.

Tabel 1. Penggunaan gelatin dalam industri pangan dan non pangan di dunia (1999)

Jenis industri pangan
Jumlah penggunaan (ton)
Jenis industri non pangan
Jumlah penggunaan (ton)

Lebih dari 60% total produksi gelatin digunakan oleh industri pangan, seperti dessert, permen, jeli, es krim, produk-produk susu, roti, kue, dan sebagainya. Sekitar 20% produksi gelatin digunakan oleh industri fotografi dan 10% oleh industri farmasi dan kosmetik. Kondisi serupa pun terjadi di Indonesia. Seiring dengan makin berkembangnya industri pangan, farmasi dan kosmetik di Indonesia, kebutuhan akan gelatin pun makin meningkat. Namun sayangnya, meningkatnya kebutuhan gelatin di Indonesia ternyata belum banyak direspons oleh industri dalam negeri untuk memproduksinya secara komersial. Karena itu, tak heran jika untuk memenuhi kebutuhan tersebut Indonesia masih harus mengimpornya dari berbagai negara.

Tabel 2. Impor gelatin Indonesia (BPS, 2004)

Tahun
Gelatin (kg)
US$

Tabel 3. Perusahaan Pengguna Gelatin

Nama Perusahaan
Bidang Usaha
Lokasi

Proporsi bagian tubuh ikan bervariasi tergantung jenis dan ukuran ikan. Kulit dan tulang ikan dapat diperoleh dari limbah industri fillet ikan yang banyak ditemukan di berbagai tempat di Indonesia, baik untuk tujuan pemasaran lokal maupun ekspor. Selain itu, tulang dan kulit ikan dapat diperoleh dari limbah pada industri pengalengan/fillet tuna maupun ikan-ikan dasar ekonomis penting.

Salah satu model yang dapat dikembangkan untuk produksi gelatin ini adalah dengan menempatkan kegiatan pengolahan gelatin ini pada industri fillet ikan yang menghasilkan limbah non ekonomis sebagai bagian produksi. Sebagai contoh, industri fillet ikan memanfaatkan limbah tulang, kulit, dan bagian tubuh lain untuk menghasilkan gelatin. Dengan model ini, industri fillet tersebut akan mendapatkan nilai komersial tambahan sekaligus mendapatkan cara untuk mengatasi limbahnya.

Model lain adalah dengan mengembangkan usaha pengolahan gelatin ini di daerah sentra perikanan. Bahan baku dapat diperoleh dengan mengumpulkan limbah tulang dan kulit dari industri atau pengolahan ikan di sekitarnya. Dengan model ini akan tumbuh usaha-usaha baru pengumpulan limbah tersebut sehingga membuka usaha dan lapangan kerja baru. Di sisi lain, model ini sekaligus membantu mengatasi masalah penanganan limbah.

Karena itu, ikan sebagai bahan baku gelatin memiliki peluang besar untuk dikembangkan. Terlebih lagi gelatin dari ikan ini dapat menggunakan kulit dan tulang ikan yang pada dasarnya adalah limbah industri pengolahan ikan. Sumber bahan bakunya pun banyak ditemukan. Maka pengembangan produksi gelatin dengan bahan baku ikan tidak hanya mampu mengatasi masalah yang bertentangan dengan agama, tetapi juga dapat diproduksi menggunakan bahan yang cukup murah, membuka lapangan kerja baru, yang sekaligus membantu mengatasi masalah lingkungan.

Sifat fisik, kimia, dan fungsional gelatin merupakan sifat yang sangat penting menentukan mutu gelatin. Sifat yang dapat dijadikan parameter dalam menentukan mutu gelatin antara lain adalah kekuatan gel, viskositas, dan rendemen. Tabel 4 di bawah ini akan memperlihatkan standar mutu gelatin menurut SNI (1995).

Tabel 4. Standar mutu gelatin di Indonesia (SNI, 1995)

Karakteristik
Syarat

Tabel 5. Sifat fisiko-kimia gelatin komersial dan gelatin ikan

Parameter
Gelatin tulang ikan keras (patin)
Gelatin standard (SIGMA)
Gelatin komersial (tulang sapi)

ANALISA BIAYA PERALATAN DAN PRODUKSI 1 TON BAHAN BAKU (PER BATCH)

No
Jenis Sarana
Jumlah
Prediksi Harga
(Rp, juta)

Total Perkiraan Biaya : 5,2484 Milyar

LAMA PRODUKSI GELATIN (KULIT IKAN TUNA)
Tahap-tahap pengolahan :
Degresing : 36 jam
Swelling : 24 jam
Pencucian : 24 jam
Ekstraksi : 7 jam
Evaporasi : 16 jam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar